Kisah Rindu Tak Sampai

Aku terduduk manis disudut kamar, tersorot lampu meja belajar, menatap tajam pada layar laptop. Merangkai huruf-huruf menjadi sekumpulan kata, lalu merangkai kata demi kata membentuk barisan kalimat rindu. Menggali-gali pikiran hingga dasar.

Perkenalkan, aku adalah gadis perindu dari Tanah Jawa. Menari-nari dalam guyuran hujan lebat, sendirian. Aku gemar merindukan siapapun, termasuk Diayang belakangan ini mengisi labirin pikiranku. Menuangkan segala kerinduantak terucaplewat tulisan.

Sedetik yang lalu aku merindukan sosoknya, pun saat ini, pun sedetik setelah ini. Aku merindukanmu sambil mengikuti waktu yang berjalan. Rinduku berjalan sendirian dalam lorong waktu, menikmati tiap satuan detik. Banyak lorong yang membuka-lebarkan-pintu masuk mereka, namun mereka berlalu secepat cahaya.

Rinduku terus berjalan. Lalu ia menatap ujung kegelapan, dengan memicingkan mata ia melihat seberkas cahaya redup. Rinduku berlari kencang kearah cahaya redup itu, kemudian melambatkan lajunya. Lorong ini adalah lorong paling terang yang ia temukan sepanjang jalan. Rinduku berjalan ragu mendekati ujung lorong, kemudian berhenti. Ada batas samar yang menghalangi jalannya. Tidak, ia tidak melihatnya. Ia merasakannya. Ia tercengang melihat sebuah jejak yang tidak asing mengarah kedalam lorong. Rinduku tertunduk lemas lalu balik badan. Sudah ada yang mengisi, rupanya. Terlambat sudah.