//Debu di Tengah Badai

setiap kali aku bernafas pada kata-kata yang kiranya hidup ditengah badai,

kamu muncul diantara debu-debu yang diam-diam melumatku.
apakah yang mungkin datang dan pergi,
selain kamu dan kenangan lalu?

dan senyumnya makin manis,
matanya makin meneduhkan,
lengannya semakin tegas,

namun mengapa
punggungnya semakin jauh,
dan sorotnya semakin tidak menentu.

aku rindu.




bandung,
pada dini hari di tengah balada
laporan praktikum

tidak mampukah kau sedikit memberi aku sehela nafas saja untuk menjadi jeda antara sedih dan bahagia?

//teruntuk kamu, yang sedang memikul Himalaya.

aku tahu persis bahwa kau sedang memikul Himalaya di punggungmu
sedang pohon-pohonnya makin mengakar, mencengkram punggungmu
erat-erat.

aku tahu kau tidak baik-baik saja, jujurlah--paling tidak pada diri sendiri.
kau boleh lelah, kau boleh sedih,
sepenuhnya manusiawi.

sabar, tegar,
semua ini ada maksudnya, semua punya tujuan.
entah mendewasakan atau mengecewakan,
tergantung.

kau sudah pernah memikul gunung lain di punggungmu,
sudah sepantasnya kamu menjadi lebih tangguh dari ini.

tidak apa-apa, jika kau rasa ini berat,
bagilah sebagian Himalaya untukku juga.

karena hati ini lebih teriris melihatmu termenung
daripada memikul Himalaya,
berdua,
bersamamu.

should we take a break so we know how much we need each other?

haruskah kita terus-terusan mencoba mengerti orang lain dan bolehkah kita egois sesaat dengan kebahagiaan diri sendiri?

...untuk menghargai diri dan memberi ruang sedikit untuk bernafas, sejenak?

//mekanisme harapan.

bagaimana sebenarnya mekanisme harapan itu sehingga ia lebih sering di luar ekspektasi?
bagaimana keresahan mempengaruhi keberhasilan sebuah harapan?
apakah kita dilarang resah dan seharusnya berhenti mengharapkan apapun?
lalu, untuk apa kampanye mengembangkan harapan sedemikian besarnya?