Gagal Bukan Berarti Kalah.

9 Juli 2015 - Pengumuman SBMPTN

Tidak terasa sudah setahun yang lalu saya juga mengalami fase ini, pengumuman SBMPTN. Tahun lalu, saya ingat sekali, pengumuman jatuh pada tanggal 16 Juli 2014. Tepat sehari setelah hari ulang tahun saya. Hal yang kabar baiknya saya harap jadi kado terindah ulang tahun saya. Hal yang sempat saya anggap sungguh laknat dan traumatik setelah tahu hasilnya. Saya jadi ingat bagaimana perasaan saya ketika itu. Saya masih ingat betapa hati saya teriris sangat dalam karena tidak diterima di kampus impian saya sejak SD, Institut Teknologi Bandung. Saat itu bertepatan pula dengan bulan ramadhan, persis seperti tahun ini. Pengumuman juga bertepatan pukul 5 sore, beberapa menit menuju buka puasa. Saya membuka pengumuman itu sekitar 10 menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Saat membaca tulisan 'Maaf anda tidak diterima.' yang muncul di layar laptop saya, butiran-butiran  air mata bergelinang dari sudut mata. Tidak deras, namun membasahi luka yang masih baru. Perih. Lagi-lagi saya gagal membahagiakan orangtua saya, ini sudah ketiga kalinya saya gagal masuk sekolah impian saya, batinku saat itu. Lalu, saya diam meratapi tulisan kegagalan itu sampai akhirnya adzan maghrib memecah lamunan.

Mama datang mengajak saya berbuka puasa dan ia bertanya 'gimana, kak?'.
Sambil tidak menatapnya, saya menjawab 'engga lagi, ma.'.
Suara saya buat setegar mungkin agar tidak terlihat sedih. Saya tidak mau terlihat terpukul karena kegagalan ini. Saya tidak berani menatap matanya yang akan kecewa bahkan lebih dalam daripada saya sendiri.
Namun setelah berbuka puasa, saya mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan Allah yang Maha Segalanya dengan air mata yang sudah tidak dapat dibendung oleh apapun. Saya menangis sejadi-jadinya. Sejauh ingatan saya, saya hanya mengeluhkan segalanya.

Saya berusaha menghindari berkata 'Allah tidak adil' dan 'Allah tidak sayang saya', karena kata-kata itu hanya akan membuat Allah marah. Tangisan ini saya lepaskan bukan karena merasa Allah jahat dan sebagainya. Namun, seperti yang sudah saya tegaskan sebelumnya, saya gagal membahagiakan orangtua saya. Yang saya keluhkan saat itu adalah mengapa saya tidak kunjung diberikan kesempatan untuk melukis senyum bangga diwajah orangtua saya. Saya takut waktu saya tidak cukup lama untuk membahagaiakan mereka. Saya takut. Saya kecewa.

Setelah setengah jam bersimpuh, hati saya lega. Luka saya membaik, namun belum sembuh. Dan saya akhirnya memutuskan untuk berkuliah di Telkom University, Bandung. Jujur, saya lakukan ini agar bisa dekat dengan kampus impian saya. Walaupun saya hanya bisa mengagumi dari jauh.

Sudah setahun berlalu semenjak pengumuman itu, dan saya menyadari banyak hal.

Kegagalan SBMPTN saya saat itu bukan karena saya bodoh. Saya bukannya tidak belajar sama sekali atau menaruh harapan terlalu tinggi diatas kemampuan saya. Maaf, saya tidak sebodoh itu. Saya tahu sejauh apa kemampuan saya. Saya tahu berapa target yang harus saya capai untuk mewujudkan semua ini. Saya yakin itu. Saya ingat bagaimana perjuangan saya belajar. Saya menerjang hujan dan menyingkirkan lelah demi setitik ilmu yang bahkan tidak tentu keluar saat SBMPTN.

'Tetapi, apa yang membuat saya tidak diterima?' Pertanyaan yang berputar-putar di kepala saya selama ini.

This is where Allah plays His rules. Setiap manusia sudah menempuh jalan hidup masing-masing, yang tidak akan salah. Jalan yang rusak bukan berarti kita salah jalan, kan? All you have to do is believe in Allah. Just believe.

Seiring waktu berjalan, perih itu tidak hilang, bahkan sampai sekarang. Tapi saya percaya, saya belum sepenuhnya gagal. Allah pasti memberi saya kesempatan. Entah pada sekotak coklat atau mungkin pada sebuah warung sederhana di pinggir jalan yang akan membawa saya pada sukses yang sebenarnya. Wallahualam.