tidak mampukah kau sedikit memberi aku sehela nafas saja untuk menjadi jeda antara sedih dan bahagia?
aku tahu persis bahwa kau sedang memikul Himalaya di punggungmu
sedang pohon-pohonnya makin mengakar, mencengkram punggungmu
erat-erat.
aku tahu kau tidak baik-baik saja, jujurlah--paling tidak pada diri sendiri.
kau boleh lelah, kau boleh sedih,
sepenuhnya manusiawi.
sabar, tegar,
semua ini ada maksudnya, semua punya tujuan.
entah mendewasakan atau mengecewakan,
tergantung.
kau sudah pernah memikul gunung lain di punggungmu,
sudah sepantasnya kamu menjadi lebih tangguh dari ini.
tidak apa-apa, jika kau rasa ini berat,
bagilah sebagian Himalaya untukku juga.
karena hati ini lebih teriris melihatmu termenung
daripada memikul Himalaya,
berdua,
bersamamu.
bagaimana sebenarnya mekanisme harapan itu sehingga ia lebih sering di luar ekspektasi?
bagaimana keresahan mempengaruhi keberhasilan sebuah harapan?
apakah kita dilarang resah dan seharusnya berhenti mengharapkan apapun?
lalu, untuk apa kampanye mengembangkan harapan sedemikian besarnya?
astaghfirullah,
astaghfirullah,
astaghfirullah.
ampuni segala prasangka buruk hambaMu ini,
hamba hanyalah sekumpulan pemikiran-pemikiran tentang masa yang akan datang dan keresahan-keresahan masa yang sudah lalu.
tambahkan sabar pada segala keluhan,
luruskan segala kemelut,
hindarkan dari segala prasangka buruk,
ya Allah.
dimana kepantasan hambaMu ini meminta sebanyak itu?
ya Allah, sesungguhnya Engkaulah tempat pulangnya segala keluh dan air mata,
segala bahagia dan tawa.
entah sebanyak apa lagi istighfar yang ingin hamba ucapkan tatkala keresahan menguasai dada,
dengan segala ketidakteraturan emosi dan pikiran,
entah ketenangan apa lagi yang mampu menyembuhkan selain menyebut namaMu.
ya Allah, kelilingi hamba dengan orang-orang yang mau mengerti bahwa hati ini bisa lelah dan butuh waktu untuk mengobati.
dan bantu hamba untuk melakukan hal yang sama.
aku masih ingat
bagaimana sinar keemasan
dari sang maha terang,
senja itu,
menyirami seluruh parasmu.
cahaya itu
lumat-lumat menjelajahi wajahmu,
perlahan,
dari dahi hingga dagu
dari yakin hingga ragu.
Sore itu, hujan turun.
Bandung begitu dingin.
Sedingin hatinya,
Sekaku pendiriannya.
Kenangan menggigil.
Ini akan selesai, batinku.
Mentari akan segera muncul. Pasti.
Lalu,
hujan turun, lebat.
Seperti rindu-rindu yang kusimpan
pada punggungnya
yang kupikir akan mereda,
seperti wanita yang sesenggukan.
Hujan semakin marak,
seperti rindu yang tak lagi mampu dibungkam senyum.
semua muka ini; bahagia, melupakan, tertawa, hingga menari di sela-sela hujan,
sia-sia.
rasa ini, yang kubangunkan dinding tinggi-tinggi,
kutekan dengan bebatuan sebesar gunung,
sialnya, terus membelah diri, menggunung,
lalu bertransformasi jadi air.
menenggelamkanku,
dari leher, naik naik,
tiba-tiba pada mulut.
aku bungkam, namamu masih terucap,
meski hanya gumam-gumam, naik naik,
tibalah pada hidung,
aku tidak lagi bisa bernafas, namun
namamu masih terikat pada oksigen-oksigen yang kuhirup
sedetik sebelum air-air ini merendamnya, naik naik,
pada telinga.
aku tidak mendengar, namun suaramu mendengung
memekik ingin pergi. ah!
naik-naik,
air berhenti pada mata.
aku buta, dingin, dan gelap.
naik-naik.
air meninggi, tinggi, tinggi sekali.
tubuhku tidak mampu lagi menahan,
tidak ada lagi perlawanan.
lalu menggenang hingga semua sel tubuhku
memberat, memberat,
hingga aku tidak lagi mengapung,
hingga air tidak tahu akan meninggi sejauh apalagi.
hingga aku hanyalah kepingan munafik yang berusaha naik-naik setinggi rasa yang tidak lagi jadi kendaliku.
"tolong!"
ini adalah
tentang arti puisi
yang mereka pikir
bisa di konversi jadi angka!
Omong Kosong!
Omong Kosong!
Puisi itu privasi!
Puisi itu jiwa yang bebas!
Puisi itu udara yang boleh jadi tanah!
Puisi itu burung yang boleh hidup di air!
--lalu dunia ini hilang,
terpecah jadi kata-kata acak,
terlihatlah tubuhnya yang gagah menginjak...
disorot cahaya bulan yang ogah-ogahan.
habis sudah.
habis sudah.
Satu-satunya rumah yang tersisa adalah tidurku. Diluar itu, badai—dan bayangan-bayangan yang mengejar diri sendiri. Aku tidak lagi menunggu. Jendela telah kehilangan cahaya. Langit-langit dan atap dan langit dipenuhi perjalanan dan ketakutan dan bandara.
Kuinginkan ini: selimut warisan ibuku adalah cangkang dan aku melunak jadi bayi. Sudah lama aku jatuh cinta pada hal-hal yang bisa mengajariku mengerti cara berhenti. Telingaku tersumbat dan lamat-lamat cuma kudengar kalimat selamat tidur dari dalam diriku yang baru kembali.
Aku siput dan aku bayi dan aku diselaputi tidur yang damai. Kumakan mimi-mimpiku: kita dan perih lain yang kita kira masa depan dan semua yang cuma andai.
...
hai! dua hari menuju ujian tengah semester, nampaknya.
ada enam mata kuliah yang menunggu untuk diulas.
ada juga hati yang sedang culas.
wah, hati siapa?
kamu yang tau,
wahai yang sedang tumbang.
kemari, kuberi tahu sesuatu.
ada dua hal terpenting di dunia.
pertama, kamu. kedua, sehat.
kamu,
seburuk apapun orang mengutukmu,
kamu tetaplah penting. tetap bagian dari sejarah.
tetaplah seseorang yang pernah diperjuangkan,
yang kamu tahu oleh siapa,
wahai yang sedang bimbang.
kamu,
sebaik apapun jiwamu,
seterang apapun pancaran matamu,
jika tubuh dan jiwamu sakit,
apalah arti pentingnya dirimu?
get better soon, nui.
midterm is coming so soon.
"kalau saja maaf masih punya arti diantara kita..."
kalau-kalau yang kamu sebarkan akan selalu jadi kamuflase.
andai-andai akan selamanya jadi mimpi yang digantung-gantung hingga habis...
lalu, kita berandai-andai lagi.
pada laman ini,
kamu adalah setiap kata yang dirangkai jadi kalimat.
cerita kita adalah paragraf-paragraf sumbang,
sedang kita
adalah prosa yang panjang.
huruf demi huruf,
spasi demi spasi,
titik samar-samar terlihat,
kita berlari secepat cahaya,
yang ternyata adalah koma.
fatamorgana ujung.
koma yang panjang.
yang lama.
yang enggan menjadi titik.
aku tidak pernah tau bahwa koma akan semenyakitkan ini.
dua ribu maaf yang diikat satu sama lain memang tidak akan pernah cukup, kata Dia.
"Seringkali maaf adalah perihal diri, bukan orang lain."
malam ini,
langit tumpah ruah,
begitu deras,
sementara kamu terselip pada rintikan-rintikan
yang sempat jatuh di pipiku,
menjelma pada rindu yang tidak mampu berwujud.
sebab
kamu adalah ketiadaan.
aku rindu.
pada jiwa yang kian jauh tak terjangkau,
pada hati yang hangat ditengah hujan,
pada mata yang teduh ditengah panas,
pada beribu-ribu detik yang lalu,
serta pada diam yang semakin panjang...
jarak-jarak ini semakin menjauhkan,
menyiksa,
perih.
dan entah,
kali ini,
rindu tidak memaksa bertemu,
namun tabah pada doa yang bertaut
pada heningnya sujud.
aku merindukanmu setengah mati.
jangan anggap ini berlebihan karena aku benar-benar hampir mati karena merindukanmu. hariku habis oleh angan tentangmu yang ikut jatuh bersama hujan yang menyemai rerumputan, sementara kau begitu kokoh diterpa hujan.
terkadang aku iri dengan langit yang membentang jauh ke atas kepalamu, mampu menyeka rambutmu dengan anginnya. sedangkan aku? duduk disini, mencoba berteduh dari panas dan hujan sekaligus.
Sejak saat itu, semua tidak lagi sama.
Warnaku memudar,
Kupu-kupu di perutku perlahan mati,
Binar mataku meredup,
Bara apiku memadam.
Ada apa?
© [RUANG KATA]. Powered by Blogger and Manifest. Converted by LiteThemes.com