Kilau Lampu Itu, Aku Tidak Peduli-



Malam itu, setelah buka puasa bersama teman-teman SMPku, aku dan kamu memutuskan untuk menonton film di bioskop. Malam itu, jalanan Surabaya sangat padat oleh kendaraan-kendaraan yang terburu-buru sampai ke tujuan mereka. Malam itu, aku diam-diam bersyukur kendaraan-kendaraan ini membuat macet jalanan.

Agar aku bisa lebih lama denganmu, pastinya. Agar lebih menyatu dengan bau parfummu yang bercampur dengan wewangian mobilmu. Agar bisa menatapmu lebih lama. Agar bisa menikmati setiap detik engkau menyanyi lagu yang aku tidak mengerti, tapi aku menikmati. Agar semesta membiarkan kita berdua saja terjebak dalam kemacetan ini.

I was laying down my head onto your thighs when you were driving the car. I didn't even care about the people around our car. Aku tidak punya waktu lebih lama untuk melakukan ini. Biarlah mereka menoleh ke arah kaca mobil kita. Mereka tidak akan mengerti rasa rinduku yang (akan) bertumpuk. Mereka tidak akan mengerti.

Dadaku berdegup kencang sambil melihat wajahmu dari atas kakimu. Memperhatikan setiap jengkal wajahmu. Wajah yang akan kusimpan untuk waktu yang lama, selama tidak bertemu denganmu. Wajah yang meneduhkan dikala terik. Wajah yang menenangkan dikala tegang. Wajah yang akan selalu ada dikala dunia menghilang. Betapa tertidur di kakimu adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupku. 

Tanganmu membelai helai-helai rambutku, menyeka hingga belakang telingaku. Aku merasakan cinta yang tidak henti-hentinya mengalir lewat belaianmu. Tidak peduli berapa pun wanita yang telah kau belai rambutnya, karena yang aku pedulikan adalah yang sekarang kau belai. Gadis yang sangat mencintaimu. Gadis yang akan selalu merindukanmu. Gadis yang nyaman bermanja-manja denganmu. 

Bibirmu mengecup keningku. Aku tak habis pikir bagaimana kamu melakukannya. Aku membuatmu tidak bisa melihat jalanan, right? Tapi, biarlah jalanan itu sekali-kali tidak kau tengok. Mereka sudah banyak yang melirik. Let me be your only sight for now, please? Aku sangat bisa merasakan cintamu yang begitu tulus, dalam, dan hanya untukku (aku harap begitu kenyataannya). 

Akhir-akhir ini aku lebih menghargai waktu bersamamu. Kita berdua tahu bahwa kita akan berpisah jarak untuk waktu yang tidak singkat. Ah, aku tidak pernah tidak sedih mengingat kenyataan itu. Kenyataan yang sudah didepan pelupuk mata. Begitu dekat dan memusingkan. Dan menyedihkan. Dan menyayat. Dan begitu nyata.

Malam itu, malam yang paling indah. Malam yang membuat aku lupa dunia sejenak. Malam dimana kecupan kening yang kamu berikan begitu dalam dan tulus (walaupun setiap kecupanmu adalah tulus, tapi kali ini aku melipat gandakan rasa itu). Malam dimana kemacetan menjadi favoritku. Malam dimana kilau lampu jalanan yang menari-nari mencari perhatian, sama sekali tidak aku pedulikan.